Semasa


Seperti yang ditulis penerbit. Buku ini tidak menyuguhkan peristiwa-peristiwa penting atau plot yang seru dan klimaks. Tapi buku ini dekat dan hangat, juga terlalu intim dan terlalu emotional.

Sebagai seseorang yang pandai merawat ingatan dan tukang nostalgia. Buku ini membawaku pada kebaikan dalam merawat ingatan dan bagaimana menyikapi kenangan. Bahwa memang kita harus mulai terbiasa membedakan hal-hal yang diinginkan, hal-hal yang seharusnya, dan hal-hal apa yang sebenarnya di miliki. Seperti kata Coro.

Coro dan Sachi adalah dua karakter yang membuatku merasa bahwa aku sedang ada dalam kondisi seperti mereka saat ini. Tapi sepertinya aku lebih mirip dengan Bapak Coro. Seorang yang merawat kenangan dengan telaten, dan menikmati sisi sentimentil dari kenangan.
2 tahun ini, sedang hidup dengan kehilangan. Sama seperti Coro, aku sedang kehilangan sosok Sachi. Sosok Sachi bagiku adalah seorang abang yang dulu begitu dekat tapi saat ini sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Menghadapi dunia yang lebih nyata, kehidupan menikah, dan segala hal yang lebih layak dipikirkan. Mirip Sachi.
Sementara aku, seperti Coro, masih hidup dengan entah bagaimana, mengharapkan Sachi akan sama seperti Sachi yang dulu, yang kedekatan mereka terlalu dekat dan tak terpisahkan, yang masih mengumpulkan kenangan-kenangan untuk bisa merasa lebih hidup dan terkadang menyalahkan Sachi karena lebih peduli pada dunianya sendiri.
Atau kadang, aku merasa mirip sekali dengan Bapak Coro. Seorang yang selalu ditinggalkan dan mengikhlaskan. Baru saja ditinggalkan pergi untuk selamanya oleh seorang sahabat membuatku merasa harus bisa lebih baik dari Bapak Coro. Walaupun ikhlas jelas berbeda dengan merelakan. Ikhlas belum tentu bisa merelakan, karena ikhlas itu dari hati sementara relakan itu dari pikiran. Ah sudah lah, pembahasan soal ditinggalkan itu terlalu dalam.

Buku ini, hangat sekali. Meski sedikit menimbulkan kesedihan karena sama seperti kondisi Bapak, Bibi Sari, Paman Giofridis, Coro dan Sachi saat ini; hidup harus terus berlangsung karena pada akhirnya kata “selamanya” bukan pilihan. Kita harus melangkah meski sebagian besar kenangan akan tetap mengikuti.



Ada satu kalimat di buku ini yang sepertinya akan menjadi mantra baru untukku
“Kenangan tidak melulu sesuatu yang nyata di masa lalu, kerap ia hanya tentang bagaimana kita memilih untuk mengingatnya.”

Cukup untuk bisa memilih bagian apa saja yang perlu diingat agar tidak terlalu melankolis saat bernostalgia dengan kenangan. Terima kasih untuk Teddy dan Maesy untuk kalimat sihir ini!


Buku ini, buku yang sederhana. Tapi setelah seseorang selesai membaca buku ini, jika mereka sama sepertiku, mereka akan dipenuhi kalut setelahnya. Jika berbeda, mereka akan mencoba menghitung waktu sudah berapa lama tidak bersapa hangat dengan masa lalu, dan mereka akan melakukan setidaknya sedikit nostalgia untuk kenangan-kenangan manis di masa kecil.


Btw, ada bagian yang aku iri dari buku ini. Tentang kepindahan Bibi Sari dan Paman Giofridis. Tentang negara yang mereka pilih, lokasi tempat tinggal yang akan mereka tinggali, dan hal-hal yang akan mereka lakukan untuk menjalani masa tuanya. Sungguh, Yunani adalah salah satu negara yang ingin sekali aku kunjungi. Bisa memiliki rumah dipinggir pantaipun adalah salah satu mimpi terbesarku.

Sekali lagi, terima kasih Teddy dan Maesy atas bacaan yang ringan, sederhana dan hangat. Terima kasih sudah mengingatkan bahwa kemanapun kaki melangkah, rumah dan keluarga adalah sebaik-baiknya tempat untuk pulang.

Love,

Ica.

Komentar

Postingan Populer